KETIKA Rah Tut, vokalis grup musik Bali XXX menghubungi saya dan
mengabari filmnya “Widya, Jemari Jiwaku Menari” sudah rampung, secara pribadi
saya acungi jempol. Saya masih ingat ketika awal-awal pemunculan XXX muncul
bersama Jayagiri Pro, mereka menghasilkan begitu banyak video klip yang kreatif
dan ‘indah”. Kemudian diikuti oleh
sejumlah video maker Bali lainnya. Sehingga saya pun pernah menyampaikan, coba
kalau potensi ini dikumpulkan dan menggarap satu film, bukan tak mungkin
hasilnya mampu menyamai karya sineas Ibukota.
Semangat belajar menari untuk menunjukkan kemampuan |
Diluncurkan secara resmi dalam pemutaran khusus di salah satu hotel di
Denpasar sekitar dua bulan silam, akhirnya untuk pertama kali film ini
dipertunjukkan untuk umum Sabtu (3/8) lalu di panggung terbuka Lapangan Puputan
Badung. Banyak juga masyarakat yang tengah bersantai di lapangan pada malam
minggu itu berminat menyaksikan “layar tancap” atau dulu juga sering disebut
misbar (gerimis, bubar).
Sedih ketika orangtua sering bertengkar karena kekurangannya |
Pemutaran “Widya, Jemari Tanganku Menari” Sabtu malam lalu dihadiri langsung
ibu Walikota Denpasar sekaligus ketua KKKS IA Selly Darmawijaya Mantra. Sejumlah
pemerannya juga hadir di tengah penonton, termasuk pemeran utama Widiari, yang
sempat menyapa dan berkomunikasi dengan masyarakat dengan menggunakan bahasa
isyarat yang diterjemahkan oleh guru pembimbingnya di sekolah. Ia sempat
berpesan agar siapapun yang memiliki kekurangan sepertinya jangan pernah
berputus asa, teruslah belajar. Ia pun berharap masyarakat tidak mau menerima
orang-orang sepertinya apa adanya. Mengenai penampilannya dalam “Widya, Jemari
Jiwaku Menari”, Widiari merasa senang karena menjadi pengalaman pertama yang
sangat berharga baginya. Ia pun mengatakan masih banyak yang perlu diperbaiki
dan ditingkatkan dari apa yang telah dilakukannya.
Bersama teman baik tempat curhat masalah di rumah |
“Film ini memang tidak dikomersialkan. Bahkan produksi DVD sejumlah 1.000
keping juga bukan dijual untuk umum. Pada kesempatan ini kami berikan kepada anak-anak
berkebutuhan khusus dari SLB untuk mereka kelola, dananya juga langsung disumbangkan
untuk mereka,” jelas Rah Tut sembari berharap
ke depannya film ini bisa diputar keliling ke daerah lain.
Walau tidak sama persis, menyaksikan “Widya, Jemari Jiwaku Menari”
mengingatkan beberapa film nasional dan asing tentang pengidap tuna rungu (yang
kebetulan tokoh utamanya wanita juga) yang sempat saya saksikan ketika masih
duduk di bangku SMA. Sebut misalnya “Matahari Matahari” yang menampilkan akting
memikat Marissa Haque sebagai seorang
wanita tuna rungu yang mengalami masalah bertubi-tubi dalam keluarganya.
Yang langsung saya ingat tentang film serupa tak lain “Children of A
Lesser God” yang dibintangi Marlee Matlin, yang juga asli tuna rungu. Di film
itu ia berperan sebagai gadis tuna rungu
yang menjadi petugas kebersihan pada sebuah sekolah khusus anak tuna rungu. Tak
hanya mendapat Academy Awards (piala Oscar) sebagai aktris terbaik 1987, dan
menjuadu satu-satunya aktris tuna rungu yang mendapatkan penghargaan itu, ia
pun tetap eksis sebagai aktris hingga saat ini.
Menyaksikan film-film tersebut, termasuk “Widya” tentunya, tak hanya
menarik sebagai tontonan, tapi juga mengetuk hati kita untuk membuka diri terhadap
mereka yang mungkin selama ini terabaikan. Juga betapa mereka yang terlahir
normal bisa belajar banyak mengenai semangat hidup dari mereka, yang tak putus
asa walau menyadari diri mereka “berbeda”. Kerja, kreativitas dan prestasi
mereka tunjukkan. * Adnyana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar