Minggu, 04 Agustus 2013

Nonton Bareng "Widya, Jemari Jiwaku Menari"

KETIKA Rah Tut, vokalis grup musik Bali XXX menghubungi saya dan mengabari filmnya “Widya, Jemari Jiwaku Menari” sudah rampung, secara pribadi saya acungi jempol. Saya masih ingat ketika awal-awal pemunculan XXX muncul bersama Jayagiri Pro, mereka menghasilkan begitu banyak video klip yang kreatif dan ‘indah”. Kemudian diikuti  oleh sejumlah video maker Bali lainnya. Sehingga saya pun pernah menyampaikan, coba kalau potensi ini dikumpulkan dan menggarap satu film, bukan tak mungkin hasilnya mampu menyamai karya sineas Ibukota.

Semangat belajar menari untuk menunjukkan kemampuan
Cukup lama “menunggu” hingga omongan saya itu jadi kenyataan, di awal 2013, Rah Tut menyampaikan kalau film pertamanya sudah jadi. Memang, ini bukan film yang sengaja dibuat untuk konsumsi bioskop, karena dibuat sebagai film video untuk penayangan di media elektronik. Berdasarkan naskah yang ditulis Yudya Putri, Rah Tut menyutradarai film ini bersama rekannya, Ricky.

Diluncurkan secara resmi dalam pemutaran khusus di salah satu hotel di Denpasar sekitar dua bulan silam, akhirnya untuk pertama kali film ini dipertunjukkan untuk umum Sabtu (3/8) lalu di panggung terbuka Lapangan Puputan Badung. Banyak juga masyarakat yang tengah bersantai di lapangan pada malam minggu itu berminat menyaksikan “layar tancap” atau dulu juga sering disebut misbar (gerimis, bubar).

Sedih ketika orangtua sering bertengkar karena kekurangannya
Jika sebagian besar penonton malam itu “terbius” oleh tayangan yang mereka saksikan, tentu bukan semata karena ini karya asli sineas Bali – di luar FTV yang cukup sering juga dibuat di televisi lokal. Lebih dari itu, cerita dalam film yang diprakarsai oleh Koordinator kegiatan kesejahteraan sosial (KKKS) kota Denpasar  itu diangkat dari kisah nyata Widiari, seorang gadis remaja berkebutuhan khusus. Sejak kecil, ia divonis mengalami tuna rungu. Tak hanya disisihkan dari pergaulannya di lingkungan dan sekolah, pada awal-awalnya kedua orangtuanya juga seakan tak terima kalau anaknya mengalami cacat itu. Namun seiring berkembangnya waktu, Widya yang kemudian bergabung di sekolah luar biasa (SLB)-B di Sidakarya, menunjukkan bakat dan prestasi mengagumkan sebagai seorang penari.

Pemutaran “Widya, Jemari Tanganku Menari” Sabtu malam lalu dihadiri langsung ibu Walikota Denpasar sekaligus ketua KKKS IA Selly Darmawijaya Mantra. Sejumlah pemerannya juga hadir di tengah penonton, termasuk pemeran utama Widiari, yang sempat menyapa dan berkomunikasi dengan masyarakat dengan menggunakan bahasa isyarat yang diterjemahkan oleh guru pembimbingnya di sekolah. Ia sempat berpesan agar siapapun yang memiliki kekurangan sepertinya jangan pernah berputus asa, teruslah belajar. Ia pun berharap masyarakat tidak mau menerima orang-orang sepertinya apa adanya. Mengenai penampilannya dalam “Widya, Jemari Jiwaku Menari”, Widiari merasa senang karena menjadi pengalaman pertama yang sangat berharga baginya. Ia pun mengatakan masih banyak yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan dari apa yang telah dilakukannya.

Bersama teman baik tempat curhat masalah di rumah
Selain Widiari, film ini juga didukung pemeran lain dari anak-anak berkebutuhan khusus lainnya, serta penampilan penyanyi pop Bali, Trisna “STE” dan pemain teater Gus Purwasila. Sebelum pemutaran film, sejumlah anak-anak berkebutuhan khusus menjajakan DVD “Widya, Jemari Jiwaku Menari” kepada masyarakat, dengan donasi Rp 50 ribu. 

“Film ini memang tidak dikomersialkan. Bahkan produksi DVD sejumlah 1.000 keping juga bukan dijual untuk umum. Pada kesempatan ini kami berikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus dari SLB untuk mereka kelola, dananya juga langsung disumbangkan untuk mereka,” jelas Rah Tut  sembari berharap ke depannya film ini bisa diputar keliling ke daerah lain.

Happy ending: sang ibu terharu melihat kemampuan putrinya
Film Lainnya
Walau tidak sama persis, menyaksikan “Widya, Jemari Jiwaku Menari” mengingatkan beberapa film nasional dan asing tentang pengidap tuna rungu (yang kebetulan tokoh utamanya wanita juga) yang sempat saya saksikan ketika masih duduk di bangku SMA. Sebut misalnya “Matahari Matahari” yang menampilkan akting memikat Marissa Haque sebagai  seorang wanita tuna rungu yang mengalami masalah bertubi-tubi dalam keluarganya. 

Yang langsung saya ingat tentang film serupa tak lain “Children of A Lesser God” yang dibintangi Marlee Matlin, yang juga asli tuna rungu. Di film itu ia berperan sebagai  gadis tuna rungu yang menjadi petugas kebersihan pada sebuah sekolah khusus anak tuna rungu. Tak hanya mendapat Academy Awards (piala Oscar) sebagai aktris terbaik 1987, dan menjuadu satu-satunya aktris tuna rungu yang mendapatkan penghargaan itu, ia pun tetap eksis sebagai aktris hingga saat ini.

Menyaksikan film-film tersebut, termasuk “Widya” tentunya, tak hanya menarik sebagai tontonan, tapi juga mengetuk hati kita untuk membuka diri terhadap mereka yang mungkin selama ini terabaikan. Juga betapa mereka yang terlahir normal bisa belajar banyak mengenai semangat hidup dari mereka, yang tak putus asa walau menyadari diri mereka “berbeda”. Kerja, kreativitas dan prestasi mereka tunjukkan. * Adnyana
 
Tisna (baju merah) bersama anak-anak berkebutuhan khusus pendukung "Widya, Jemari Jiwaku Menari"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar