Selasa, 13 Agustus 2013

Doa Bersama untuk Nyoman Sura

* Pengabdi Seni Tanpa Pamrih itu Telah Pergi


SOSOK Nyoman Sura layak disebut sebagai pengabdi seni tanpa pamrih. Hal itu disampaikan Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Dr. I Gede Arya Sugiartha S.SKar, M.Hum saat malam doa  bersama untuk alm. Nyoman Sura di panggung terbuka ISI Denpasar, Selasa (13/8) malam. Menuturkan bagaimana mengenal almarhum sejak masih menjadi mahasiswa hingga merintis karier sebagai penari dan koreografer dari bawah.

Julukan lain untuk almarhum Sura disampaikan musisi nasional Dwiki Dharmawan, yang secara khusus datang ke Bali untuk turut memberikan doa. Menurut Dwiki yang beberapa kali bekerjasama dengan Nyoman Sura, penari yang juga menjadi dosen di almamaternya itu bisa dikatakan sebagai pahlawan seni pertunjukan. 

Acara malam doa untuk mengenang Nyoman Sura digelar secara spontan dalam waktu persiapan yang sangat singkat oleh sejumlah rekan. Selain pihak keluarga, civitas akademika ISI Denpasar, acara juga dihadiri “anak didik” dan ratusan mahasiswa, serta kerabat dan sahabat dekat almarhum dari berbagai kalangan. Tampak pula sejumlah tokoh masyarakat dan tokoh seniman, seperti anggota DPR RI, Gede Sumarjaya Linggih, Nyoman Suentra (seniman Jegog dari Jembrana), presenter Sandrina Malakiano, dan sejumlah musisi serta penyanyi.

Secara bergiliran penyanyi yang pernah bekerjasama dengan Sura, seperti Galuh Bilen, Ocha, dan Jun Bintang menyumbangkan suara sekaligus memberikan kesan tentang seniman asal Kesiman, Denpasar tersebut. Dwiki Dharmawan sempat pula memainkan satu nomor lagu di awal acara. Sebagai pamungkas tampil Nyanyian Dharma -- yang didukung Dewa Budjana, Agung Wirasutha, Gus Wicak, Ocha, Anggi, Denny Surya, Rico Mantara -- membawakan lagu “Mantramku” dan “Doa Pertiwi”. Malam itu juga dipergelarkan sejumlah nomor tarian karya Nyoman Sura, yang dibawakan oleh mahasiswa ISI Denpasar.

Satu hal yang luar biasa, dalam acara yang dipandu Ayu Saraswati dan Agung Wirasutha malam itu juga terkumpul dana Rp 83,5 juta. Selain Rp 18,5 juta dari kotak dana yang diisi oleh mereka yang hadir, 30 juta dari lelang lukisan berjudul “Region of Sense” karya Sujana “Suklu”, dan Rp 35 juta didapat dari “jualan lagu” atas inisiatif Budjana yang meminta Balawan memainkan satu lagu. Gitaris asal Batuan itupun memainkan “Berita Kepada Kawan” (Ebiet G. Ade) khusus untuk Sura.

Tertarik Menari Sejak Kecil
Sebagaimana telah diberitakan, Nyoman Sura meninggal dunia Jumat (9/8) karena infeksi paru-paru dan tumor pankreas. Jenazahnya masih disemayamkan di kamar Jenazah RSUP Sanglah, dan baru akan dibawa pulang Kamis (15/8) besok untuk serangkaian upacara sebelum palebon, Jumat (16/8).

I Nyoman Sura dilahirkan di Denpasar, 10 April 1976. Ketertarikannya terhadap seni tari diawali dari kegemaran menonton latihan tari di balai banjar. Sura senang mengamati gerakan-gerakan tari Bali yang diperagakan peserta latihan. Dengan keinginan dibarengi bakat yang kuat di bidang tari, selepas SMA, Sura melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar. Karena bercita-cita menjadi penari dan penata tari yang andal, sejak mahasiswa ia rajin mengikuti berbagai pementasan, perlombaan dan festival tari, baik di tingkat lokal maupun nasional. Lulus dari STSI Denpasar tahun 1996, sejak itu menjadi staf pengajar di almamaternya sambil terus mengembangkan kemampuan koreografinya. Tahun 2009 ia menempuh pendidikan S-2 Penciptaan Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.

Sebagai koreografer, Sura memusatkan garapannya pada tari kontemporer. Namun tak berarti dia menjauhi seni tradisi Bali yang melahirkannya. Jiwa tari tradisi tetap bertahan dalam banyak garapan tari kontemporernya. Sura juga memiliki kepedulian yang besar terhadap lingkungan dan masyarakat seperti tercermin dalam beberapa karyanya yang memanfaatkan sampah sebagai kostum tari dan pada “Ritus Legong” (2002). Kepedulian sosial dibuktikan Sura dengan mengadakan diskusi setelah pementasan untuk menjelaskan konsep karyanya sampai apresian mengerti dan paham. Karya Sura juga sarat nilai kemanusiaan, seperti “Bulan Mati” (2003) yang menyiratkan makna bahwa kegembiraan selalu dibarengi dengan kesedihan sedangkan “That Time” (2004) memuat nilai ketulusan dalam menghadapi kematian. Tari “The Lost” (2010) merepresentasikan bahwa kekuatan tidak bisa bertahan selamanya. *adn

Gelar doa bersama untuk Sang Maestro, I Nyoman Sura, Selasa (13/8) malam :

Dwiki Dharmawan

Emoni
Galuh Bilen

Salah satu tari garapan Nyoman Sura alm.

Wayan Balawan

Nyanyian Dharma

Jun Bintang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar