Minggu, 30 Juni 2013

Dari Pentas Kolosal Pramusti Bali di Ajang PKB

* Warna-warni Kehidupan dalam Balutan Lagu dan Lawak
 
Sebagian pendukung pentas kolosal Pramusru Bali di Taman Budaya, Denpasar, Sabtu (29/6)
PENTAS kolosal Persatuan artis musisi, pencipta lagu, dan insan seni musik (Pramusti) Bali di panggung terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Denpasar, sabtu (29/6) malam berhasil menghibur sekitar 5.000 penonton yang memadati tempat acara. Sejak dibuka mulai pukul 19.00 dengan “pemanasan” oleh sejumlah penyanyi lagu pop Bali penonton terlihat sudah antusias. 

Pentas serangkaian Pesta Kese- nian Bali (PKB) ke-35 tersebut merupakan kesempatan ketiga kalinya bagi Pramusti untuk unjuk gigi dengan menampilkan potensi yang ada. Seperti dua kali kesempatan sebelumnya, untuk PKB 2013 ini Pramusti menampilkan pertunjukan musik drama, hanya kali ini tidak mengambil satu cerita utuh, namun berupa fragmen warna-warni kehidupan sehari-hari  dalam balutan lagu dan lawak yang dibagi ke dalam empat babak  atau empat segmen.

Sebelum suguhan utama, mulai pukul 19.00 penonton dihibur penyanyi pendatang baru seperti Gede Beruk, Made Bayu, Tut Sumar, Ngurah Panji, Yuni Swari, Guna Swara, Ayuni Citra Dewi, Ayu Santi, Ayu  Viona, hingga penyanyi angkatan lama seperti De Balon dan De Oka S. juga Wisma Trika yang memboyong penari latar dari Paguyuban Penggemar Lagu Pop Bali. Penampilan rancak ini cukup memanaskan suasana, sebelum pentas utama dimulai pukul 20.00 wita.

Segmen pertama menampilkan keceriaan masa anak-anak yang asyik dengan dunianya, larut dalam pertemanan, bermain, belajar. Pada segmen ini pelawak anak-anak dari Sanggar Gita Ulangun dengan kepolosannya berhasil membuat penonton dan undangan termasuk Gubernur Bali dan Ibu Ayu Pastika terpingkal-pingkal. Mereka pula yang menjadi “pengantar” lagu-lagu dari Chisya Wandira, Indah, Gek Riris, Dinda Wirasutha hingga Deva.

Tuntas segmen pertama, berikutnya memasuki segmen liku-liku kehidupan berumah tangga dengan memanfaatkan setting warung kopi sebagai tempat ngobrol dan berbagi cerita. Pelawak seperti Ayu Petong, Pekak Botak dan kawan-kawan menjadi “pemancing” yang menjadi perangkai lagu-lagu yang dibawakan Ayu Wiryastuti, Ari Sintha, Dek Arya, Putu Lina, Adi Wisnu, hingga Trisna dan AA Raka Sidan. Lagu hits masing-masing mewakili bagaimana suka-duka berumah tangga mulai dari menghadapi mertua yang cerewet, suami yang kurang peduli dengan istri, hingga problem kehidupan sebagai seorang duda bahkan janda.

Tak mau kalah dengan “senior-senior” yang mendahului di segmen sebelumnya, pada segmen ketiga pelawak Rare Kual dengan kekuatan penuh dari Singaraja juga sukses mengocok perut penonton dengan banyolan khas mereka. Di segmen yang berlatar belakang kehidupan rumah kos ini, Rare Kual berperan sebagai anak-anak kos yang merangkum problem asmara anak muda yang terungkap melalui lagu yang dibawakan Bayu Krisna, Anggi, Duo Liku, Duo Thiwi, De Ama, Eka Badeng, juga Marlen “Vitik” dan Dewi Pradewi. Satu bagian yang mengharukan dari segmen ini manakala lagu “Tembang Kenangan” dari Ayu Stiati (alm.) mengalun melalui rekaman video klip.

Meskipun hujan rintik sempat turun beberapa saat dan “memaksa” sebagian penonton termasuk undangan beranjak, pementasan yang memasuki segmen pamungkas tetap berlanjut. Lebih dari separuh penonton yang masih bertahan tetap semangat apalagi selain menampilkan pengantar menarik dari lawakan Sengap dan kawan-kawan, pada segmen ini barisan penyanyi yang muncul punya penggemar cukup kuat. Diawali Margi yang membawakan “Ajeg Bali”, Gus Rajes dengan lagu “Ogoh-ogoh”, Ray Peni menyanyikan “Karya Agung”, Dwi Negari yang mengajak semua agar tetap ingat kepada-Nya melalui lagu “Eling”, “Agung Wirasutha” yang berpesan melalui “Mulat Sarira” hingga Nanoe Biroe yang mengingatkan betapa pentingnya menjaga semangat “Menyama”. Puncaknya Mang Gita, Dewi Pradewi, Eka Badeng, dan Mang Cucun menembangkan “Taksu Bali” yang dirangkai dengan lagu “Taksu” dari Ocha.  Kolaborasi antara penyanyi lagu pop Bali dari berbagai generasi dengan pelawak Bali, terasa hidup dengan iringan gamelan dari Sanggar Puspa Kencana dan musik dari Lindia Band. *adn

Sabtu, 29 Juni 2013

Denpasar Distorsi Community

Dua Hari Pameran Pakaian "Full Music"

Ripper Clown dan Efekbatik, dua dari sekian banyak band yang tampil di acara Denpasar Distorsi
UNTUK menunjukkan eksistensi, seorang musisi, anak band, harus kreatif. Baik secara personal maupun melalui komunitas yang mereka ikuti. Tengok misalnya apa yang dilakukan “musisi lawas: dari jajaran musik indie Bali, dengan menggelar pameran pakaian yang full music.

Mengusung bendera Denpasar Distorsi Community, mereka menggagas acara Denpasar Distorsi, Sabtu-Minggu (29 -30 Juni) dengan meminjam wantilan DPD Golkar Bali, Jl. Surapati, Denpasar.  Untuk hajatan besar ini, ratusan anak muda yang berkiprah di bidang musik dan industri pendukungnya ambil bagian. 

“Selama dua hari acara akan diisi dengan pameran clothing dan parade band.  Kegiatan ini di lakukan untuk penggalian dana yang akan disumbangkan untuk panti jompo di Bali,” jelas Tewe Semara Amurwabumi selaku ketua panitia acara.

Untuk gelaran ini, tak kurang dari 19 clothing (perusahaan yang memproduksi pakaian jadi di bawah brand atau merek mereka sendiri) yang ada di Bali bergabung dengan 45 band indie untuk meramaikan acara. Mereka yang tampil antara lain Ripper Clown, Efekbatik, Manurams, Liveline, dan lainnya. Jika untuk Sabtu acara digelar mulai pukul 14.00 hingga tengah malam, Minggu dimulai pukul 12.00 hingga kelar. 

Tewe yang juga merupakan vokalis sekaligus gitaris Efekbatik berharap kegiatan ini  akan menjadi kegiatan rutin dari komunitas yang turut digawanginya. Dengan demikian kepedulian sosial dan lingkungan dapat secara rutin dilakukan. “Selama ini banyak kegitan komunitas musik hanya dilakukan untuk membina band atau sekadar mencari dana buat mengumpulkan karya dengan membuat kompilasi album, namun untuk Denpasar Distorsi Community, selain pembinaan terhadap band juga kami programkan kegiatan sosial dan peduli lingkungan. Ya anggaplah ini sebagai bentuk dari kepedulian, tanggung jawab kita terhadap sesama,” demikian Tewe. *adn

Kamis, 27 Juni 2013

Bawakan Lagu Bali, Beda Rasanya


Bari and Friends rasakan bedanya memainkan lagu pop berbahasa Bali
DI mana letak nikmatnya membawakan lagu pop berbahasa Bali, dibandingkan dengan pilihan lagu lain? Jika pertanyaan ini diajukan untuk grup band Bari and Friends, maka jawabnya mudah saja : sangat berbeda rasanya. Inilah yang dialami setelah grup anak muda ini merilis album pertama mereka “Love in Bali” beberapa waktu lalu.

“Memang awalnya masih banyak yang mencemooh lagu Bali. Karenanya kami memberanikan diri untuk mengemas lagu berbahasa Bali dengan cara kami sendiri. Kami coba masukkan unsur musik blues, rock n’ roll, dan memang sangat beda rasanya. Mudah-mudahan ini makin membuka pandangan penikmat musik kalau ternyata lagu berbahasa Bali itu enak diapain saja,” tutur Bari, pentolan grup ini kepada Bali Music Online.

Hingga saat ini, Bari and Friends masih gencar-gencarnya memperkenalkan kaya mereka ke masyarakat terutama melalui berbagai panggung pertunjukan. Kesempatan manggung yang lumayan sering salah satunya lantaran video klip "Blues Sexy" yang mendapat respons  baik dari penikmat musik pop Bali. Yang menarik dari perjalanan Bari selama ini, ternyata sambutan terhadap musik yang mereka mainkan justru terasa lebih “gila” responsnya di daerah-daerah. Walaupun tiap daerah beda-beda lagu yang digemari. 

“Ini juga yang mendorong kami makin bersemangat, dan mudah-mudahan dalam waktu dekat sudah bisa merampungkan video klip kedua, untuk lagu Cintai Bli Lagi, " ujar Bari. 

Grup yang satu ini mulai terbentuk di tahun 2011 dengan personel didukung Bari Hamdani (vokal), Dian Mertha (drum), Patra Sasangka (bass), Dek Ndut (lead guitar) dan Dek Arya (rhytm guitar). Seperti kebanyakan grup lain, awalnya pun mereka berkumpul lalu memutuskan membuat grup musik dan manggung hanya untuk menyalurkan hobi dan minat di musik. Namun ujung-ujungnya, mereka juga gatal untuk berkarya.

Sedari awal pemunculannya, Bari menegaskan kalau grup ini tidak memainkan lagu pop cengeng yang mendayu-dayu atau lagu cinta ala boyband. Ia pun lebih suka menyebut musik yang dimainkan lebih cenderung sebagai progresive pop. Sesuai namanya progresif, jika dibawa ke pop bisa, mau dibawa ke blues juga bisa. Dengan kata lain, Bari and Friends tidak mau membatasi kreasi dengan mematok satu jenis musik tertentu saja. *adn

"Bom Cinta" Navicula Berisi "Semut Hitam"

Navicula, dari kiri ke kanan : Gembul, Made, Dankie, dan Robi
ADA kabar menarik lagi dari Navicula, grup musik dari Bali yang seakan tak pernah sepi kreativitas. Di sela-sela kesibukan tampil di sejumlah acara di berbagai daerah, mereka telah merampungkan materi untuk album terbaru yang diberi judul “Love Bomb” atau bom cinta. Yang menarik ini bukan hanya menjadi double album pertama bagi Navicula, tapi juga karena di album ini mereka membawakan lagu “Semut Hitam” yang dipopulerkan grup rock kenamaan, God Bless. 

Bukan sekadar iseng atau hanya asal pilih, ada alasan kuat bagi Robi (vokal), Dankie (gitar), Made (bass), dan Gembul (drum) untuk membawakan “Semut Hitam”. Dua tahun silam, Navicula mendapat kesempatan untuk tampil di acara Jakarta Artmosphere yang menggabungkan musisi lintas generasi. Di mana musisi daru generasi terdahulu disandingkan dengan musisi masa kini, yang dipandang memiliki karakter dan nuansa sama. Sebut misalnya Mocca yang disandingkan dnegan Oddie Agam, atau Gugun and Blues Shelter yang dipasangkan dengan Silvia Saartje. Nah, Navicula disandingkan dengan God Bless. 

Menurut Robi, mungkin panitia penyelenggara melihat sejarah panjang perjalanan God Bless juga idealisme pergerakan mereka, mirip dengan gerakan Navicula saat ini. Saat acara itu God Bless memainkan lagunya Navicula, dan kami memainkan lagu God Bless. Dari sejumlah lagu yang disodorkan, disepakati untuk mengaransemen ulang “Semut Hitam”. 

“Sebenarnya memang ada banyak pilihan lagu, termasuk yang legendaris, lagu Kehidupan. Kalau Semut Hitam yang akhirnya diangkat, secara pribadi karena lagu ini bagi kami punya kesan sendiri. Kebetulan kami sedang tumbuh remaja saat lagu ini sedang populer. Akhirnya ketika memilih materi lagu untuk album Love Bomb, kami punya pemikiran, kenapa tidak masukkan saja Semut Hitam,” cerita Robi. 

Yang melegakan bagi Navicula, Jockie Surjoprajogo (mantan personel God Bless yang menciptakan lagu "Semut Hitam" bersama Donnie Fatah) sudah memberikan ijin secara resmi untuk pemakaian lagu tersebut. Bakal seperti apa lagu “Semut Hitam” di tangan Navicula? “Kami hanya mengaransemen ulang musiknya. Kalau lagu dan liriknya masih tetap sama,” jelas Robi. 

Walaupun secara materi dan proses rekaman sudah rampung, namun Navicula belum berani memastikan kapan “Love Bomb” dirilis. Begitupun mereka tak pasang target kapan album yang diproduseri Volcom Entertainment ini bisa dinikmati publik, namun diperkirakan akhir Juli atau Agustus sudah beredar. Yang jelas album ke-7 Navicula ini berisikan dua CD, satu CD memuat 5 lagu (termasuk dua lagu “Days of War, Nights of Love” dan “Refuse to Forget” dua yang direkam di studio Record Plant Hollywood), dan satu CD lagi berisikan 10 lagu termasuk “Semut Hitam”. *adn

Rabu, 26 Juni 2013

Gubah Musik Pop Bali, Gung Dea Belajar Secara Otodidak

MENYEBUT nama Gung Dea, mungkin tak banyak yang ingat atau tahu, dibandingkan menyebut nama penyanyi lagu pop Bali pada umumnya. Seperti kebanyakan arranger atau penggubah musik lain yang bergerak di balik layar, begitulah adanya. Padahal dalam kurun waktu lebih dari 10 tahun, sudah cukup banyak rekaman penyanyi pop Bali yang melibatkan peran Gung Dea sebagai penggubah musik. Salah satu lagu populer yang mendapat sentuhan tangannya, “Somahe Bebotoh” yang dinyanyikan Dek Ulik.

Gung Dea
Awalnya pria kelahiran 19 Desem- ber 1942 ini hanyalah penggemar, sedari remaja memang senang mendengarkan lagu pop Bali. Per- kenalannya dengan musisi dan penyanyi lagu pop Bali berawal dari sanggar Canting Camplung di tahun 90-an. Adalah pencipta lagu juga penyanyi Gung Galih yang kemu- dian menyarankannya untuk belajar menggarap musik. 

“Sebelumnya saya hanya bisa ber- main gitar, itupun hanya mengikuti chord saja. Kalau main keyboard masih sekadar bisa. Dengan doro- ngan dari Gung Galih saya belajar bikin aransemen berbekalkan key- board saja, tidak menggunakan alat recording seperti sekarang. Semua saya pelajari secara otodidak,” ceritanya.

Album “Kelangan” grup Putra Dewanga binaan Gung Galih menjadi proyek rekaman pertama yang seluruh lagunya diaransemen Gung Dea. Salah satu lagu yang sempat mencuat dari album ini, “Bah Bangun”. Terakhir ia menangani rekaman grup Duo Liku, “Lika Liku Laki Laki”. 

Jangan ditanya berapa banyak lagu yang sudah ditangani pria bernama asli Anak Agung Gede Agung Arinata ini. Karena saking asyiknya menuntaskan pekerjaan ini, ia tak sempat mendata atau mendokumentasikan karya yang pernah melibatkannya. Yang jelas menangani lagu untuk penyanyi pendatang baru maupun penyanyi yang sudah punya nama, tak ada bedanya bagi pria asal Gianyar ini

“Kesulitan biasanya muncul saat tidak ada mood atau istialah anak sekarang, lagi galau, hehehe … Kalau dengan penyanyi tak ada masalah, baik itu yang sudah tenar maupun pemula. Hanya untuk untuk pemula saya selalu berikan support, karena bagaimanapun saya merasa yang pemula patut dibantu untuk bisa lebih mencintai lagu Bali,” tutur pria yang sehari-harinya bekerja di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Pemkab Gianyar ini. 

Gung Dea tak mengelak kalau lagu yang digarapnya kebanyakan memang lagu pop dengan sentuhan khas nada-nada pentatonik seperti unsur gamelan. Mungkin karena kebetulan lagu yang diberikan oleh si pencipta, nuansa musiknya lebih cocok ke nada-nada pentatonik. Walau demikian Gung Dea juga banyak menggarap musik yang mengarah ke pop mandarin. Baginya tidak ada masalah dengan warna musik, karena lebih menjadi kepuasan manakala musik garapannya bisa diterima di telinga penggemar lagu pop Bali. *adn