TIGA bintang lagu Bali, Yong Sagita, Widi Widiana, dan Nanoe Biroe, akan tampil sepanggung dalam satu pergelaran yang diberi judul “Konser Tiga Generasi” di Akasaka Music Club, Denpasar, Minggu 13 November 2011. Bukan hanya tiga generasi, ketiganya juga sudah dianggap sebagai pionir, ikon pada masing-masing dekade dimana mereka muncul dengan corak tersendiri. Bahkan bisa dikatakan, ketiganya juga merupakan “raja panggung” di era masing-masing. Adalah Forbanas (Forum Bantu Nanoe Biroe Go Nasional) yang mewujudkan ide pertunjukan lagu Bali yang memang beda dari yang sudah-sudah ini. “Ide awalnya adalah penggalian dana untuk program Nanoe Biroe go national. Kemudian berkembang menjadi satu ide untuk bikin pentas kolaborasi,” ujar Nanoe Biroe kepada Bali Music Magazine.
Sampai saat tulisan ini disusun, menurut Nanoe persiapan sudah benar-benar matang. Ketiga bintang yang akan tampil sudah beberapa kali melakukan latihan. Menariknya, mereka tidak hanya akan tampil sepanggung, namun benar-benar berkolaborasi. Selain medley hits masing-masing, mereka juga akan saling tukar lagu di atas pentas.
“Exciting ... ini sesuatu yang baru, karena kami akan bertukar lagu dan menyanyikan lagu masing-masing tidak dengan iringan musik seperti biasanya,” komentar Widi Widiana yang sudah menghasilkan lebih dari 10 album lagu pop Bali.
Bagi Yong Sagita sebagai salah satu dedengkot penyanyi lagu Bali, keinginan untuk pentas kolaborasi dengan penyanyi generasi baru sebenarnya sudah muncul sejak 2002. Namun karena kesibukannya, tidak memungkinkan untuk mengurus sendiri. “Kebetulan beberapa waktu lalu tanpa sengaja saya ketemu sama Nanoe di warung Mister Yong, dalam rangka kegiatan sosial, menggali dana untuk pura Griya Perak. Nah, kok muncul lagi ide ini, dan berlanjut kebeberapa kali pertemuan. Astungkara jadilah seperti sekarang,” terang penyanyi yang dikenal dengan ciri khas kumis tebalnya ini.
Bagi Yong Sagita yang ngetop di akhir 80-an hingga pertengahan 90-an, konser tiga bintang ini bukan sekadar nostalgia. “Ini betul betul pertunjukan kolaborasi antara saya sebagai generasi awal Pop Bali dengan generasi kedua Widi Widiana dan generasi ketiga Nanoe Biroe,” ujarnya.
Yong juga tidak segan membocorkan konsep pertunjukan yang akan dilakoninya. Untuk pertama kali ia akan memainkan lagu “Lanang Wadon” diiringi grup band yang biasa main bersama Nanoe Biroe. Sedangkan untuk lagu solo, ia akan diiringi musik dari Dek Artha. Yong juga akan membawakan dua hits-nya Widi Widiana, salah satunya “Kupu-kupu Nakal”.
Setelah pertunjukan nanti, konon ke depannya tidak tertutup kemungkinan pentas kolaborasi ini juga akan digelar di beberapa tempat lain di berbagai daerah di Bali.
YONG SAGITA
Sebelum populer sebagai salah satu penyanyi idola, Yong Sagita mengawali kiprahnya di rekaman lagu pop Bali dari Aneka Record dengan membentuk grup 2S (Sagita dan Sayub), yang sempat menghasilkan album “Madu teken Tuba” (1985). Dari judulnya bisa ditebak, ada keinginan mengekor sukses “Madu dan Racun” (Bill & Broad) yang tengah populer saat itu. Album pertama itu sempat memunculkan hits “Toris”. Setahun kemudian, Yong Sagita muncul di album “Ngipi Lucut”. Kelar dua album, Yong Sagita mencoba beralih ke ke Maharani Record. Sempat mendapat penolakan, setelah beberapa bulan baru ia dipanggil untuk rekaman. Di sini, kiprahnya kian berkembang, dan popularitasnya makin menanjak. Muncullah sejumlah album dengan beragam hits mulai dari “Karmina”, “Aksi Luar Negeri”, “Ngiler Ngiler“, “Jaja Kakne”, hingga “30-11-91”. Yong Sagita juga dikenal dengan duetnya bersama Alit Adiari seperti di lagu “Raka Rai” serta “Lanang Wadon”. Sayangnya, popularitas sempat melenakan pria asal Buleleng ini. Memasuki pertengahan 90-an, kariernya kian meredup. Namun semangatnya berkarya di musik tak pernah habis. Awal 2000-an, ia kembali ke Aneka Record. Beberapa album baru seperti “Nenggel” dan “Yayang” dihasilkannya, sebagai upaya untuk menunjukkan eksistensi di blantika musik pop Bali.
Yong Sagita tentu saja mengaku sangat bangga karena kini tak sedikit yang menyebutnya sebagai salah satu penyanyi lagu Bali legendaris. Namun di balik itu ia pun merasa sedih karena belum mampu lagi memberikan yang terbaik buat penggemar. Ia sendiri mengaku awalnya tak pernah bermimpi akan menjadi penyanyi lagu pop Bali. Kegemarannya akan musik muncul begitu saja. Begitupun keberaniannya untuk mencoba berbuat sesuatu.
“Kalau saya sendiri awalnya hanya berpikir jadi seorang sopir saja. Kalau akhirnya menjadi penyanyi lagu pop Bali dan terjun ke rekaman, saya sangat yakin, hidup ini adalah kehendak. Segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak juga. Karenanya sekarang saya makin enjoy saja menghadapi hidup ini... ya apa adanya,” ujarnya.
Meskipun cukup banyak hits yang dihasilkan, penyanyi yang tak pernah lepas dari ciri kumis tebal ini mengaku tidak ada lagu yang paling istimewa atau berkesan khusus. Baginya, semua lagu yang ia ciptakan sebelum 1994, semuanya punya kesan mendalam. Apalagi semuanya muncul begitu saja, mengalir tanpa ada rasa terpaksa untuk menulis. Jadi semua lagu ia anggap sama, semua lagu punya kesan. Hanya untuk karya-karya selanjutnya, Yong Sagita mengaku sangat sulit mencapai hasil seperti dulu.
WIDI WIDIANA
Menelusuri perkembangan lagu pop Bali, sulit rasanya lepas dari nama Widi Widiana. Bagaimanapun, penyanyi asal Kuta ini pernah memberi warna tersendiri dan memunculkan semacam trend baru lagu pop berbahasa Bali dengan sentuhan nuansa musik mandarin. Penyanyi asal Legian, Kuta ini mengawali kariernya di Maharani Record awal 90-an dengan merilis rekaman bersama adik kandungnya, Sri Dianawati. Dari sini muncul hits “Luh Mebaju Barak”.
Hijrah ke Aneka Record, Widi makin melejit dengan album “Kasmaran” dan benar-benar booming dengan “Sesapi Putih” di pertengahan 90-an. Bersama Aneka Record, Widi merilis 10 album termasuk “Yen Saja Sayang”, “Metulak Singkal”, “Tresna Kaping Siki”, “Tekor Bubuh”, “Layonsari”, “Tepen Unduk”, hingga “Dasa Menit”, “Nganten Muda”, dan “Boya Guyu-guyu”. Ia juga sempat merilis album di bawah label sendiri dengan judul “Takut-takut Bani” yang menghasilkan hits “Janji Bulan November”.
Sampai awal 2000-an, nama Widi Widiana masih berkibar di puncak tangga lagu pop Bali, meskipun banyak penyanyi generasi baru bermunculan. ia masih berjaya dengan sejumlah hits seperti “Sampik Eng Tay”, ““Kupu-kupu Nakal”, “Suksma Hyang Widhi”, “Sayang”, “Kesiab-kesiab”, “Dokar Tresna” dan “Gek Cantik”.
Widi mengakui, belakangan intensitas pemunculannya di hadapan publik memang sangat jarang. Sesungguhnya ini bisa dimaklumi, karena secara menyeluruh pentas musik atau lagu Bali juga tidak seramai dulu. Selain itu lesunya peredaran rekaman berbahasa Bali turut berpengaruh. Ia pun menampik anggapan kalau ada kesan menyerah, lalu memutuskan untuk berhenti atau meninggalkan lagu pop Bali. “Sedikit pun tidak ada rasa menyerah atau keinginan untuk meninggalkan lagu Bali. Ketika kondisi memang tidak sebagus awal 2000 saat lagu Bali sedang booming, saya cuma memutuskan untuk mengambil jeda saja, sambil mempersiapkan apa yang harus saya lakukan ke depan,” jelasnya.
Keyakinan Widi untuk tidak menyerah dan percaya masih bisa berbuat sesuatu untuk lagu pop Bali tentunya bukan keyakinan dalam diri sendiri saja. Tak jarang saat pergi ke manapun, banyak yang bertanya-tanya, kapan ia akan muncul lagi. Pun, masih banyak yang menyatakan rindu atau kangen mendengar lagu-lagu Widi Widiana yang lama. Hal inilah yang kian menguatkan tekadnya untuk tetap bertahan.
NANOE BIROE
Ketika Nanoe, vokalis band indie Biroe merekam album lagu berbahasa Bali “Suba Kadung Matulis” akhir 2005, banyak yang hirau dengan album rekaman ini. Namun pelan tapi pasti, album ini mulai digemari hingga booming dan menjadi album lagu berbahasa Bali yang paling banyak diburu sepanjang 2006. Sukses album ini tak pelak menempatkan Nanoe sebagai idola baru bagi penikmat musik Bali.
Album kedua “Matunangan Ngajak Dewa”, Nanoe malah membukukan dua catatan rekor dari Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan konsep sampul album kaset terpanjang, dan penyanyi yang mampu menjual lebih dari 1.000 album dalam waktu hanya dua jam saat peluncuran, lengkap dengan tanda tangan si penyanyi secara langsung di tempat.
Merekam lagu pop Bali sendiri bukan menjadi cita-cita atau keinginan utama Nanoe. Apalagi sebelumnya ia memang dikenal dengan band indie beraliran pop rock, Biroe. Kalau toh ada lagu pop Bali yang diciptakan, menurutnya bukan direncanakan. Keinginan itu datang begitu saja. Jadi awalnya merekam lagu berbahasa Bali dengan ramuan musik rock, ballad, semata-mata karena ingin menyuarakan apa yang sudah ditulis. Tidak heran kalau lagu-lagu Nanoe akhirnya bisa diterima, karena selain materi lagunya sangat dekat dengan keseharian, bahasanya juga mudah dimengerti. Tahun 2008 Nanoe merilis album VCD “Transisi Mimpi”, sebelum melempar triple album “Metamorforia” di tahun 2009. Album keempatnya “Positif” dirilis 2010, sekaligus dibarengi dengan pemecahan rekor MURI menyanyi nonstop 80 jam. Di tahun 2011, Nanoe melepas album kelima dalam format CD “Matur Suk5ma”. (*adn)