Kamis, 22 Agustus 2013

Permakluman


blog Bali Music Online pindah alamat dan berganti format. 

Kunjungi kami di 

www.mybalimusic.com



Selasa, 13 Agustus 2013

Doa Bersama untuk Nyoman Sura

* Pengabdi Seni Tanpa Pamrih itu Telah Pergi


SOSOK Nyoman Sura layak disebut sebagai pengabdi seni tanpa pamrih. Hal itu disampaikan Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Dr. I Gede Arya Sugiartha S.SKar, M.Hum saat malam doa  bersama untuk alm. Nyoman Sura di panggung terbuka ISI Denpasar, Selasa (13/8) malam. Menuturkan bagaimana mengenal almarhum sejak masih menjadi mahasiswa hingga merintis karier sebagai penari dan koreografer dari bawah.

Julukan lain untuk almarhum Sura disampaikan musisi nasional Dwiki Dharmawan, yang secara khusus datang ke Bali untuk turut memberikan doa. Menurut Dwiki yang beberapa kali bekerjasama dengan Nyoman Sura, penari yang juga menjadi dosen di almamaternya itu bisa dikatakan sebagai pahlawan seni pertunjukan. 

Acara malam doa untuk mengenang Nyoman Sura digelar secara spontan dalam waktu persiapan yang sangat singkat oleh sejumlah rekan. Selain pihak keluarga, civitas akademika ISI Denpasar, acara juga dihadiri “anak didik” dan ratusan mahasiswa, serta kerabat dan sahabat dekat almarhum dari berbagai kalangan. Tampak pula sejumlah tokoh masyarakat dan tokoh seniman, seperti anggota DPR RI, Gede Sumarjaya Linggih, Nyoman Suentra (seniman Jegog dari Jembrana), presenter Sandrina Malakiano, dan sejumlah musisi serta penyanyi.

Secara bergiliran penyanyi yang pernah bekerjasama dengan Sura, seperti Galuh Bilen, Ocha, dan Jun Bintang menyumbangkan suara sekaligus memberikan kesan tentang seniman asal Kesiman, Denpasar tersebut. Dwiki Dharmawan sempat pula memainkan satu nomor lagu di awal acara. Sebagai pamungkas tampil Nyanyian Dharma -- yang didukung Dewa Budjana, Agung Wirasutha, Gus Wicak, Ocha, Anggi, Denny Surya, Rico Mantara -- membawakan lagu “Mantramku” dan “Doa Pertiwi”. Malam itu juga dipergelarkan sejumlah nomor tarian karya Nyoman Sura, yang dibawakan oleh mahasiswa ISI Denpasar.

Satu hal yang luar biasa, dalam acara yang dipandu Ayu Saraswati dan Agung Wirasutha malam itu juga terkumpul dana Rp 83,5 juta. Selain Rp 18,5 juta dari kotak dana yang diisi oleh mereka yang hadir, 30 juta dari lelang lukisan berjudul “Region of Sense” karya Sujana “Suklu”, dan Rp 35 juta didapat dari “jualan lagu” atas inisiatif Budjana yang meminta Balawan memainkan satu lagu. Gitaris asal Batuan itupun memainkan “Berita Kepada Kawan” (Ebiet G. Ade) khusus untuk Sura.

Tertarik Menari Sejak Kecil
Sebagaimana telah diberitakan, Nyoman Sura meninggal dunia Jumat (9/8) karena infeksi paru-paru dan tumor pankreas. Jenazahnya masih disemayamkan di kamar Jenazah RSUP Sanglah, dan baru akan dibawa pulang Kamis (15/8) besok untuk serangkaian upacara sebelum palebon, Jumat (16/8).

I Nyoman Sura dilahirkan di Denpasar, 10 April 1976. Ketertarikannya terhadap seni tari diawali dari kegemaran menonton latihan tari di balai banjar. Sura senang mengamati gerakan-gerakan tari Bali yang diperagakan peserta latihan. Dengan keinginan dibarengi bakat yang kuat di bidang tari, selepas SMA, Sura melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar. Karena bercita-cita menjadi penari dan penata tari yang andal, sejak mahasiswa ia rajin mengikuti berbagai pementasan, perlombaan dan festival tari, baik di tingkat lokal maupun nasional. Lulus dari STSI Denpasar tahun 1996, sejak itu menjadi staf pengajar di almamaternya sambil terus mengembangkan kemampuan koreografinya. Tahun 2009 ia menempuh pendidikan S-2 Penciptaan Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.

Sebagai koreografer, Sura memusatkan garapannya pada tari kontemporer. Namun tak berarti dia menjauhi seni tradisi Bali yang melahirkannya. Jiwa tari tradisi tetap bertahan dalam banyak garapan tari kontemporernya. Sura juga memiliki kepedulian yang besar terhadap lingkungan dan masyarakat seperti tercermin dalam beberapa karyanya yang memanfaatkan sampah sebagai kostum tari dan pada “Ritus Legong” (2002). Kepedulian sosial dibuktikan Sura dengan mengadakan diskusi setelah pementasan untuk menjelaskan konsep karyanya sampai apresian mengerti dan paham. Karya Sura juga sarat nilai kemanusiaan, seperti “Bulan Mati” (2003) yang menyiratkan makna bahwa kegembiraan selalu dibarengi dengan kesedihan sedangkan “That Time” (2004) memuat nilai ketulusan dalam menghadapi kematian. Tari “The Lost” (2010) merepresentasikan bahwa kekuatan tidak bisa bertahan selamanya. *adn

Gelar doa bersama untuk Sang Maestro, I Nyoman Sura, Selasa (13/8) malam :

Dwiki Dharmawan

Emoni
Galuh Bilen

Salah satu tari garapan Nyoman Sura alm.

Wayan Balawan

Nyanyian Dharma

Jun Bintang

Wakakaka ... Tertawa Bahagia Bersama Gonjak

Grup band Gonjak, dari kiri ke kanan: Mona, Kusuma, Efri, dan Alit
GONJAK datang lagi. Terakhir grup musik Bali yang satu ini muncul tiga tahun silam dengan album “Nak Bali Asli”. Kali ini, mereka mencoba menunjukan eksistensi dengan album ketiga dalam format CD yang diberi judul “Wakakaka”. 

“Kami merilis album ini selain untuk menyalurkan hobi dan kreativitas kami di bidang musik, juga untuk menunjukkan ke penggemar lagu pop Bali kalau kami masih ada. Bahwa Gonjak masih eksis dan akan terus berkarya,” ujar Mona, vokalis grup ini kepada Balimusic belum lama ini.

Judul album yang singkat dan menarik, “Wakakaka” – juga merupakan judul salah satu lagu andalan -- menurutnya punya pesan tersendiri. Wakaka menjadi suatu ekspresi tawa tiap orang. Pada umumnya ekspresi tawa itu ada jika seseorang merasa senang dan bahagia, mampu memenuhi segala kebutuhan, atau dalam arti sempit mampu memenuhi kebutuhan materi di mana seseorang tidak akan pernah kekurangan makanan atau kelaparan. Apa yang mereka inginkan selalu bisa didapatkan, sehingga terjadilah proses rasa bahagia yang dituangkan dalam ekspresi sebuah tawa. 

“Nah, mengapa judul album Wakakaka kami pilih, kami ingin menyampaikan Pesan moral bahwa tawa atau bahagia itu sangat sederhana, yakni bersyukur dengan tidak lepas dari semangat berusaha dan tanggung jawab. Bahagia itu ada dalam diri kita sendiri , kita harus selalu bersyukur atas semua yang telah didapatkan,” jelas Mona sembari berharap ada manfaat semacam perenungan yang bisa dipetik dari lagu-lagu di album mereka.

Selain “Wakakaka”, album terbaru Gonjak juga merangkum lagu Engsap di mata Inget di Hati, Percaya Je, Bonkah I Luh, Lalalelelo, Hatine Gulem, Pang Seger, Tresna Mecarang, Gede, dan Dong Oman.

Gonjak yang terbentuk di Denpasar, tahun 2004, kini didukung formasi Mona (vokal), Agunk (gitar), Alit (drum), Efri (bass), dan Kusuma (gitar). Album pertama mereka “Bungut” dirilis 2006, menyusul “Nak Bali Asli” 2010, dan yang terbaru “Wakakaka” 2013. Dilihat dari namanya, gonjak dalam bahasa Bali berarti guyon. Memang demikianlah personel grup ini, yang kalau berkumpul suka ayau senang guyon atau bercanda. Cara ini mereka lakukan untuk lebih mengakrabkan satu sama lainnya. Walau sering bercanda, urusan berkarya, tentunya mereka tidak main-main. Apalagi sebagai grup band lagu Bali yang memainkan irama reggae rock. *adn

Selasa, 06 Agustus 2013

XXX Siapkan Album Baru


XXX suting video klip lagu baru "Wellcome To Bali", Senin (5/8)
CUKUP lama setelah rilis album kelima “Nak Bali”, grup musik lagu Bali XXX tidak mengeluarkan rekaman. Kini tiba saatnya, mereka pun angkat bicara soal karya terbaru. Album ke-6 mereka sudah selesai direkam, dan kini masih dalam proses mixing. Belum ditentukan kapan pastinya album ini akan dirilis, namun diharapkan sebelum tutup tahun sudah bisa dinikmati penggemar.

“Beberapa materi sebetulnya sudah ada sejak lama. Namun karena proses rekaman yang diulang di studio yang berbeda, jadi masih harus menunggu. Sambil proses mixing jalan, kami juga sudah mulai menyiapkan video klip,” jelas IGN Murthana, produser Jayagiri Production sekaligus manajer XXX, di sela-sela suting di kawasan Denpasar, Senin (5/8) sore.

Salah satu lagu yang dipilih untuk dibuatkan video klip adalah lagu “Wellcome to Bali”. Jangan terkecoh, walau judulnya berbahasa Inggris, lagu ini tetap menggunakan lirik berbahasa Bali. Selain itu tema lagunya juga mengarah ke kritik sosial, nyentil sejumlah fenomena di pulau Bali kini, seperti kemacetan, maraknya pembangunan hotel dan villa, serta masalah sosial lainnya.

“Lagu ini sudah dibuat cukup lama, kebetulan saja temanya mengena untuk kondisi sekarang, sehingga kami rasa cocok diangkat sebagai salah satu andalan di album baru XXX,” demikian Rahman. 

Dijelaskan pula, selain lagu berbahasa Bali, di album baru nanti juga akan ada lagu berbahasa Indonesia. Bedanya jika lagu yang berbahasa Bali lebih banyak mengangkat tema sosial kemasyarakatan, sedangkan lagu tema cinta atau asmara ada di lagu yang berbahasa Indonesia. 

XXX yang masih didukung Rah Tut dan Rah Tu (vokal), Rah Mink (gitar), Angga (bass), dan Rah Alit (drum) pertama kali muncul 2003 dengan album “Druwenang Sareng”. Menampilkan lagu  berbahasa Bali dalam balutan unsur pop, rock, dan hip hop, XXX dengan cepat menarik perhatian penggema lagu pop Bali. Album kedua “Jingkrak-Jingkrak” yang dirilis (2004) cukup mendapat sambutan, namun breakthrough bagi XXX terjadi saat booming album “Bikul Pisuh” (2006). Disusul album “Sangut Delem”(2008) dan terakhir “ Nak Bali” (2009). Sedangkan untuk album ke-6 yang dipersiapkan untuk beredar akhir tahun ini, belum ditentukan judulnya. *adn

Senin, 05 Agustus 2013

"Gaenang Beli Tongos"


Ketut Pesta
Ketut Pesta Nyanyi dan Rekaman Lagi

LAMA “menghilang” dari geliat musik pop Bali, nama Ketut Pesta kini muncul lagi. Belum lama, ia merilis album keroyokan dalam format CD berjudul “Tokecang”. Di album ini, ia menyanyikan tiga lagu ciptaan serndiri, “Gaenang beli tongos”, “Tokecang” dan “Ngutang kandik nuduk jaum”. Selain itu ia juga mencitakan lagu “Kedakep Macan” yang dinyanyikan Moyo Ariana dan “Buah Karma” yang dinyanyikan Dek Ulik.

Bagaimana perasaan Ketut Pesta rekaman lagi, setelah cukup lama off? “Ya….rasanya seperti kembali belajar lagi,” ujar pria yang lama bergerak di bidang pariwisata ini.

Baginya, tak ada yang sulit menyesuaikan diri dengan trend musik saat ini. Dalam pandangannya, lagu pop Bali ketika masa aktifnya dulu dengan sekarang secara umum masih sama saja. Hanya sekarang yang banyak muncul, anak-anak muda makin banyak mencampur bahasa Bali dengan bahasa Indonesia maupun Inggris dalam lirik lagunya. Sementara secara kultur musik masih sama.

Walaupun dalam beberapa tahun belakangan pria asal Nusa Penida, Klungkung ini banyak berkiprah di bidang spiritual, ia tidak serta merta memasukkan unsure tersebut ke dalam rekaman lagu pop Bali yang dibuatnya. 

“Memang sekarang saya lebih banyak ngurus sekaa shantih (sekar alit, sakr madya, sekar agung) yang kental sekali hubungannya dengan dunia spiritual dan itu ranahnya klasik dalam hal ini karawitan. Tapi secara khusus kalau kita mau pop Bali, ya suasananya memang mesti pop, populer. Karena kalau dibawa ke klasik, maka akan susah diterima pasar,” kilahnya.

Menyebut Ketut Pesta, bagi yang mengikuti perkembangan rekaman pop Bali, nama ini bukanlah pendatang baru. Di awal-awal tahun 2000-an, ia sudah mulai menyalurkan hobi di bidang musik dan menyanyi dengan membentuk grup Paras Paros, yang kemudian juga menjadi label rekamannya. Grup ini sempat merilis beberapa album, salah satunya yang cukup booming, “Setres” (seken Tresna) yang waktu itu merangkum sejumlah penyanyi seperti Gek Mirah, Gus Pur, Komang Apel, dan Bayu KW. *adn