Kamis, 26 Juli 2012

Kembali ke Piringan Hitam

JIKA pelawak Tukul dalam salah satu tayangan di televisi terkenal dengan ungkapannya “kembali ke laptop”, bagi sejumlah grup music kini justru makin banyak muncul keinginan “kembali ke piringan hitam”. Begitulah, dalam beberapa waktu terakhir, sejumlah musisi dalam negeri mencoba merekam karya mereka ke dalam vinyl (piringan hitam). Tentu ini bukan sekadar gaya atau sekadar ingin mencoba.

Pengamat musik Bens Leo dalam satu kesempatan di Denpasar akhir tahun lalu pernah mengungkapkan, memang ada banyak pergeseran dalam soal trend produksi atau menikmati musik saat ini. Ia menuturkan, di luar negeri, mulai ada trend orang kembali beralih ke piringan hitam. “Kalau kembali ke era pita kaset sepertinya sulit ya, tapi selalu ada perkembangan baru yang menarik,” ujarnya.

Kiranya itu pula yang mulai diikuti kalangan musik di Tanah Air. Sejumlah musisi sudah memperkenalkan karya terbaru mereka ke dalam format piringan hitam, sebut misalnya Seringai, White Shoes and the Couples Company, atau yang lebih dahulu Superman Is Dead. Grup asal Bali yang sudah malang-melintang di tingkat nasional bahkan menembus luar negeri ini, Februari silam merilis piringan hitam yang menampilkan lagu-lagu terbaik mereka. Langkah tersebut kemudian juga diikuti grup band dari Bali lainnya, Dialog Dini Hari, yang mengemas empat lagu terbaru mereka ke dalam piringan hitam dengan judul “Lengkung Langit”. 

Dibandingkan dengan rekaman dalam format pita kaset atau CD audio, rekaman piringan hitam memang terbilang eksklusif. Untuk bisa mendengarkan piringan hitam harus memiliki alat pemutar khusus atau apa yang bisa dikenal sebagai turntable. Selain hargan rekaman vinyl yang mencapai puluhan kali dari kaset biasa, proses penggandaannya juga harus dilakukan di luar negeri. Memang pada era piringan hitam hingga 70-an, di Indonesia pernah ada perusahaan penggandaan piringan hitam ternama di Solo, Lokananta. Namun perusahan rekaman pertama di Indonesia itu kini tinggal nama.

Secara umum ada anggapan jika pilihan kembali ke piringan hitam sebagai salah satu upaya untuk menekan penggandaan secara liar atau pembajakan. Namun di balik itu juga ada kepuasan dan kebanggaan tersendiri bagi musisi yang memiliki rekaman dalam format ini. Kesan klasik yang ada pada piringan hitam, juga penggarapan yang relatif lebih sulit dan melalui proses panjang, hingga kualitas audio menjadi pertimbangan tersendiri.

Meskipun sulit memastikan kapan atau apakah ke depan memang akan terjadi “revolusi” besar-besaran lagi dalam industri musik dengan menjamurnya lagi piringan hitam, namun sementara untuk kalangan terbatas, trend itu sudah dimulai. Bahkan siapa tahu, lagu pop Bali pun kelak akan beredar dalam format vinyl pula. Kembali ke….. piringan hitam. adn